Kamis, 18 September 2025

Raja Rimba yang Kontroversial: Menguak Representasi Rasial dalam Komik, dari Tarzan hingga Black Panther


 

Di Balik Tirai Jagoan Putih di Rimba Afrika

Mengapa Tarzan, seorang anak kulit putih yang ditinggalkan dan dibesarkan oleh kera di hutan Afrika, digambarkan memiliki kemampuan unik, seperti berbicara dengan binatang, sementara penduduk asli kulit hitam yang telah tinggal di sana selama ribuan tahun tidak bisa melakukannya? Pertanyaan ini menyingkap paradoks yang mengganggu dan lebih dari sekadar detail cerita. Tarzan, sang "Raja Rimba," adalah artefak budaya yang berasal dari era kolonialisme dan imperialisme, yang penuh dengan bias tersembunyi. Karakter ini, yang pertama kali muncul dalam novel karya Edgar Rice Burroughs dan kemudian diadaptasi ke dalam berbagai media, termasuk komik, berfungsi sebagai cerminan ideologi yang dominan di masanya.

Laporan ini akan menempatkan fenomena Tarzan dalam kerangka analisis kritis. Analisis akan mengupas bagaimana komik di masa lalu secara tidak langsung menjadi medium untuk menyebarkan ideologi "fiksi imperium" dan tropus "penyelamat kulit putih" (white savior).1 Selanjutnya, laporan akan menelusuri bagaimana representasi ini telah bergeser secara signifikan dari yang terbatas dan stereotipikal menjadi lanskap komik modern yang jauh lebih inklusif dan sadar sosial. Pergeseran ini akan dieksplorasi melalui studi kasus pahlawan super modern seperti Black Panther dan The Falcon, yang tidak hanya menantang stereotip lama, tetapi juga secara eksplisit membahas isu-isu rasisme yang kompleks.

 

Tarzan—Pahlawan atau Simbol Fiksi Imperium?

Narasi Tarzan secara mendalam tertanam dalam gagasan "fiksi imperium," sebuah genre yang, menurut para peneliti, secara tidak langsung mengungkapkan lebih banyak tentang kecemasan, ketakutan, dan hasrat para penjajah daripada tentang orang-orang yang dijajah.2 Tarzan, atau John Clayton III, yang lahir dari bangsawan Inggris, digambarkan memiliki kecerdasan dan kemampuan bawaan yang memungkinkannya mengungguli penduduk asli Afrika. Meskipun ia dibesarkan di alam liar, ia secara paradoks digambarkan "lebih dekat ke alam" daripada orang Afrika pribumi, menempatkannya dalam posisi superioritas yang tidak logis.2 Ini bukanlah narasi tentang pemberdayaan, melainkan perwujudan mitos superioritas Barat, yang menunjukkan bahwa bahkan ketika dilepaskan dari peradabannya, seorang pria kulit putih tetap mempertahankan keunggulan inheren yang tidak bisa ditandingi oleh penduduk asli.

Analisis ini menunjukkan bahwa Tarzan adalah contoh utama dari tropus "penyelamat kulit putih" (white savior), di mana karakter utama kulit putih menyelamatkan karakter non-kulit putih dari kesulitan. Tropus ini, yang umum dalam sinema dan media, memproyeksikan konsep abstrak seperti moralitas, kepemimpinan, dan kecerdasan sebagai karakteristik bawaan orang kulit putih, yang seakan-akan tidak ditemukan pada orang non-kulit putih.1 Tarzan bertindak sebagai sosok mesianik, atau "messianic figure," yang datang untuk memimpin dan menyelamatkan, sebuah fantasi narsistik dan pameran yang digambarkan sebagai bentuk "kompensasi psikologis" bagi orang Barat.1

Laporan akademis lebih lanjut mengidentifikasi narasi Tarzan sebagai "mitos tandingan" (counter-myth).2 Mitos ini diciptakan untuk menutupi kebobrokan dan korupsi peradaban Barat itu sendiri. Dengan memproyeksikan superioritasnya pada alam yang "ideal" dan "tidak terkontaminasi" di Afrika, Tarzan menyajikan kritik paradoks terhadap peradaban Barat yang "busuk dan tidak berdaya" (effete) sementara pada saat yang sama memperkuat ideologi yang mendukung dominasi rasialnya.2 Singkatnya, cerita-cerita ini tidak pernah benar-benar tentang Afrika, tetapi tentang cara Barat membenarkan dan mempersepsikan perannya di dunia. Fenomena ini adalah contoh nyata bagaimana ideologi kolonialisme dan imperialisme Barat 4 menciptakan kebutuhan untuk membenarkan dominasi, yang pada gilirannya menghasilkan narasi pop culture seperti Tarzan yang menyucikan peran Barat menjadi pahlawan yang dibutuhkan.

 

Dari Konga ke Kongo—Stereotip Global di Komik Klasik

\Fenomena representasi rasial yang bermasalah tidak terbatas pada komik Amerika. Kasus komik Eropa, Tintin di Kongo karya Hergé yang diterbitkan pada 1931, memberikan contoh yang sejajar. Komik ini telah dikritik luas karena menggambarkan orang Kongo sebagai "kekanak-kanakan dan bodoh," dan dianggap sebagai propaganda kolonialisme Belgia.6 Bahkan kreatornya, Hergé, di kemudian hari mengakui bahwa ia "diberi makan oleh prasangka masyarakat borjuis" pada masanya.8 Edisi-edisi selanjutnya dari komik ini bahkan harus direvisi, seperti adegan di mana Tintin mengajar geografi Belgia kepada anak-anak Kongo yang diubah menjadi pelajaran matematika.8 Ini merupakan pengakuan tersirat, bahkan di masa lalu, bahwa kontennya bermasalah dan tidak dapat dipertahankan.

Untuk memahami pola-pola ini, teori Orientalisme karya Edward Said memberikan kerangka analisis yang kuat. Said berpendapat bahwa Barat menciptakan cara pandang terhadap "Timur" (non-Barat) yang didasarkan pada stereotip.9 Alih-alih melihat Timur secara objektif, Barat mendefinisikannya sebagai "liyan" (the Other), yang digambarkan sebagai "irasional, terbelakang, mistis, dan berbeda" sebagai kebalikan dari Barat yang "rasional, maju, dan beradab".10 Konsep ini dapat diterapkan pada narasi Tarzan dan Tintin. Afrika yang mereka gambarkan bukanlah tempat yang nyata, tetapi sebuah konstruksi imajinasi Barat yang stereotipikal. Ini memperkuat gagasan bahwa cerita-cerita ini tidak pernah tentang realitas Afrika, tetapi tentang fantasi dan kebutuhan ideologis Barat untuk mempertahankan hegemoni budaya.

Rasisme dalam komik juga meluas ke stereotip lain, seperti yang terlihat dalam tropus "Ancaman Kuning" (Yellow Peril). Istilah ini mencerminkan ketakutan xenofobia yang meluas terhadap orang Asia di Eropa dan Amerika Utara pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.11 Stereotip ini menggambarkan orang Asia sebagai ancaman rasial dan budaya yang jahat. Ini menunjukkan bahwa industri komik Barat secara historis memiliki pola yang sistematis dalam mereduksi berbagai kelompok non-Barat menjadi karikatur dua dimensi. Pola ini tidak terbatas pada satu ras, melainkan sebuah pendekatan umum dalam menciptakan representasi rasis yang berakar pada prasangka. Bahkan stereotip terhadap orang kulit hitam sering kali berasal dari black-face minstrelsy, pertunjukan karikatur yang dilakukan oleh orang kulit putih 13, yang menggarisbawahi bahwa representasi rasis di masa lalu sering kali berasal dari imajinasi dan prasangka orang-orang di posisi kekuasaan, bukan dari interaksi atau pemahaman otentik dengan budaya lain.

 

Pergeseran Paradigma—Menuju Komik yang Lebih Beragam

Representasi orang kulit hitam di komik telah melalui banyak tantangan, di mana mereka sering kali digambarkan sebagai stereotip "hutan" atau "ghetto," atau hanya sebagai karakter pendukung (sidekick).13 Namun, lanskap ini telah mengalami perubahan besar, mencerminkan perjuangan sosial yang lebih luas. Kini, pahlawan non-kulit putih bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan pusat dari narasi yang menantang hegemoni rasial.

Salah satu narasi tandingan yang paling signifikan adalah Black Panther.15 Diciptakan pada tahun 1960-an, karakter T'Challa adalah raja dari Wakanda, sebuah negara fiktif di Afrika yang maju secara teknologi dan secara unik tidak pernah dijajah oleh kekuatan asing.15 Keberadaan Wakanda berfungsi sebagai antitesis langsung dari "hutan primitif" yang diperintah oleh Tarzan. Wakanda menantang gagasan bahwa Afrika membutuhkan "penyelamat" dari Barat dan sebaliknya, menyajikan visi yang kuat dan otonom.

Tantangan terhadap stereotip lama tidak berhenti pada penciptaan karakter. Kontribusi penulis kulit hitam seperti Christopher Priest dan Ta-Nehisi Coates memperkaya Black Panther, menjadikannya simbol komunitas Afrika-Amerika yang menghadapi rasisme.14 Pernikahan Black Panther dengan Storm dari X-Men juga merupakan langkah strategis untuk menargetkan audiens yang lebih luas, terutama perempuan dan komunitas Afrika-Amerika.14 Keberhasilan sinema

Black Panther pada tahun 2018 16 menunjukkan bahwa audiens global haus akan cerita yang otentik dan memberdayakan. Film ini membuktikan bahwa narasi yang menantang stereotip dapat sangat menguntungkan secara komersial dan memiliki dampak budaya yang signifikan.

Laporan ini menunjukkan bahwa perkembangan representasi mencerminkan perjuangan sosial yang lebih luas. Awalnya, karakter non-kulit putih hanya berfungsi untuk menegaskan kembali dominasi kulit putih. Sekarang, mereka adalah pusat narasi yang menantang hegemoni tersebut. Tabel di bawah ini secara visual mereplikasi argumen utama laporan ini, menempatkan ideologi masa lalu dan sekarang secara berdampingan.

 

Tabel 1: Perbandingan Narasi Rasial: Klasik vs. Modern

Era Komik

Studi Kasus

Tropus/Ideologi Utama

Representasi Karakter Non-Kulit Putih

Fungsi Narasi

Klasik

Tarzan, Tintin

Fiksi Imperium, White Savior, Orientalisme

Pasif, bodoh, stereotip, "liyan"

Mempertahankan hierarki rasial dan kolonial

Modern

Black Panther, The Falcon

Narasi Tandingan, Rasisme Sistemik, Orientalisme

Pahlawan utama, kaya, beradab, kompleks

Menantang hegemoni, menciptakan kesadaran sosial

Perkembangan berlanjut dengan karakter seperti The Falcon, atau Sam Wilson. Serial The Falcon and The Winter Soldier (yang diadaptasi dari komik Marvel) secara eksplisit membahas isu-isu rasisme sistemik, rasisme yang diinternalisasi, dan ketahanan komunitas kulit hitam.17 Narasi ini tidak lagi hanya tentang pertempuran fisik, tetapi tentang perjuangan sosial yang nyata dan kompleks, seperti penolakan pinjaman bank yang dialami oleh Sam Wilson meskipun ia adalah pahlawan super.17 Keraguan diri Sam untuk mengambil perisai Captain America karena warna kulitnya adalah cerminan modern dari "konsep dual-consciousness" W.E.B. Du Bois 18, yaitu perasaan melihat diri sendiri melalui pandangan masyarakat rasis.

Industri komik juga telah mencoba berbagai strategi untuk mengatasi masalah representasi. Salah satu strategi yang paling banyak diperdebatkan adalah racebending—praktik mengubah ras karakter yang sudah mapan, seperti Johnny Storm atau Spider-Man.19 Meskipun praktik ini bertujuan untuk menciptakan alam semesta yang lebih multikultural, hal itu menimbulkan kritik dari sebagian audiens yang melihatnya sebagai "serangan" terhadap hegemoni kulit putih.19 Fenomena ini disebut "zero-sum game" oleh para kritikus, yang menunjukkan bahwa transisi menuju representasi yang lebih adil tidaklah mulus dan masih menimbulkan perlawanan dari audiens yang tidak ingin dominasi kulit putih mereka dipertanyakan.

Sementara itu, gerakan komik independen dan "komik ras kritis" (critical race comics) secara eksplisit membahas ras dan rasisme. Mereka berfungsi sebagai "cerita tandingan" (counter-storytelling) untuk melawan narasi defisit tentang orang kulit berwarna yang disebarkan oleh media mainstream di masa lalu.18 Gerakan-gerakan ini menunjukkan bahwa perubahan tidak hanya didorong dari dalam industri (oleh penerbit besar), tetapi juga dari bawah, oleh para kreator yang menggunakan medium komik sebagai alat untuk keadilan sosial dan pedagogi antirasis.

 

Kesimpulan dan Jalan ke Depan

Perjalanan representasi rasial dalam komik, dari Tarzan hingga Black Panther, adalah cerminan langsung dari pergeseran ideologis masyarakat Barat. Narasi Tarzan adalah sebuah artefak dari "fiksi imperium" dan tropus White Savior yang memproyeksikan superioritas kulit putih sambil mengidealkan alam yang dikuasai. Komik klasik lain seperti Tintin di Kongo dan stereotip Yellow Peril menggarisbawahi bahwa pola rasisme dalam media adalah fenomena yang sistematis, bukan insidental.

Namun, lanskap ini telah berevolusi secara fundamental. Kemunculan Black Panther, seorang raja dari negara Afrika yang maju dan tidak pernah dijajah, adalah sebuah narasi tandingan yang kuat, yang secara langsung menantang mitos "hutan primitif" dan "penyelamat kulit putih." Karakter modern seperti The Falcon lebih jauh lagi, dengan secara eksplisit menggali rasisme sistemik dan kompleksitas identitas rasial.

Penting untuk memahami bahwa untuk menghargai komik modern, kita harus melihatnya dalam konteks sejarah—mengakui bias di masa lalu tanpa menghapusnya, tetapi menggunakannya sebagai pelajaran. Setiap cerita, baik lama maupun baru, memiliki ideologi yang tertanam di dalamnya. Memahami hal ini adalah langkah pertama untuk menjadi konsumen media yang lebih kritis dan peka. Meskipun masih ada tantangan yang tersisa, seperti perlawanan terhadap racebending dan kurangnya representasi untuk kelompok minoritas lainnya, komik telah membuktikan dirinya sebagai medium yang kuat tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk pendidikan dan perubahan sosial.

Karya yang dikutip

1.     White savior narrative in film - Wikipedia, diakses September 19, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/White_savior_narrative_in_film

2.     (PDF) Edgar Rice Burroughs's Tarzan – myth and/or critique?, diakses September 19, 2025, https://www.researchgate.net/publication/316673750_Edgar_Rice_Burroughs's_Tarzan_-_myth_andor_critique

3.     OTHERNESS REPRESENTATION: A POSTCOLONIAL ANALYSIS OF TARZAN OF THE APES - E-Journal USD, diakses September 19, 2025, https://e-journal.usd.ac.id/index.php/IJHS/article/download/8402/4269

4.     Contoh Dampak Kolonialisme dan Imperialisme di Bidang Sosial Budaya, Pendidikan dan Ekonomi - Mamikos, diakses September 19, 2025, https://mamikos.com/info/dampak-kolonialisme-dan-imperialisme-di-pljr/

5.     Dampak Kolonialisme dan Imperialisme di Bidang Ekonomi-Sosial - Tirto.id, diakses September 19, 2025, https://tirto.id/dampak-kolonialisme-dan-imperialisme-di-bidang-ekonomi-sosial-glzb

6.     Tintin 90 years on: Belgian comic book stirs racial controversy l Al ..., diakses September 19, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=TQeBP8Si_XM

7.     Tintin in the Congo - Wikipedia, diakses September 19, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Tintin_in_the_Congo

8.     Tintin: Heroic Boy Reporter or Sinister Racist? - Time Magazine, diakses September 19, 2025, https://time.com/archive/6910824/tintin-heroic-boy-reporter-or-sinister-racist/

9.     MEMBACA KEMBALI ORIENTALISME EDWAR SAID, diakses September 19, 2025, https://badanbahasa.kemendikdasmen.go.id/post/download_doc/73

10.  Membayar Harga Seorang Perempuan Liyan Secara Pantas | by Merah Muda Memudar, diakses September 19, 2025, https://medium.com/merah-muda-memudar/membayar-harga-seorang-perempuan-liyan-secara-pantas-229809913ebd

11.  Yellow Peril - Wikipedia, diakses September 19, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Yellow_Peril

12.  The Yellow Terror - Two Miles High - Ghost, diakses September 19, 2025, https://two-miles-high.ghost.io/theyellowterror/

13.  From "Under Cork" to Overcoming: Black Images in the Comics - Scholarly Essays, diakses September 19, 2025, https://jimcrowmuseum.ferris.edu/links/essays/comics.htm

14.  Portrayal of black people in comics - Wikipedia, diakses September 19, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Portrayal_of_black_people_in_comics

15.  Black Panther (character) | Research Starters - EBSCO, diakses September 19, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/literature-and-writing/black-panther-character

16.  Who is the Black Panther? | National Museum of African American ..., diakses September 19, 2025, https://nmaahc.si.edu/explore/stories/who-black-panther

17.  Representasi Ras Kulit Hitam dalam Mini-Series “The Falcon and ..., diakses September 19, 2025, https://scriptura.petra.ac.id/index.php/iko/article/view/24870/20939

18.  Critical race comics: Centering black subjectivities and teaching ..., diakses September 19, 2025, https://www.researchgate.net/publication/355656956_Critical_race_comics_Centering_black_subjectivities_and_teaching_racial_literacy

19.  Racebending and Representation in Comic Books - AAIHS, diakses September 19, 2025, https://www.aaihs.org/racebending-and-representation-in-comic-books/

0 comments:

Posting Komentar