Di Balik Tirai Jagoan Putih di Rimba Afrika
Mengapa Tarzan, seorang
anak kulit putih yang ditinggalkan dan dibesarkan oleh kera di hutan Afrika,
digambarkan memiliki kemampuan unik, seperti berbicara dengan binatang,
sementara penduduk asli kulit hitam yang telah tinggal di sana selama ribuan
tahun tidak bisa melakukannya? Pertanyaan ini menyingkap paradoks yang
mengganggu dan lebih dari sekadar detail cerita. Tarzan, sang "Raja
Rimba," adalah artefak budaya yang berasal dari era kolonialisme dan
imperialisme, yang penuh dengan bias tersembunyi. Karakter ini, yang pertama
kali muncul dalam novel karya Edgar Rice Burroughs dan kemudian diadaptasi ke
dalam berbagai media, termasuk komik, berfungsi sebagai cerminan ideologi yang
dominan di masanya.
Laporan ini akan
menempatkan fenomena Tarzan dalam kerangka analisis kritis. Analisis akan
mengupas bagaimana komik di masa lalu secara tidak langsung menjadi medium
untuk menyebarkan ideologi "fiksi imperium" dan tropus
"penyelamat kulit putih" (white savior).1 Selanjutnya, laporan akan menelusuri bagaimana representasi ini
telah bergeser secara signifikan dari yang terbatas dan stereotipikal menjadi
lanskap komik modern yang jauh lebih inklusif dan sadar sosial. Pergeseran ini
akan dieksplorasi melalui studi kasus pahlawan super modern seperti Black
Panther dan The Falcon, yang tidak hanya menantang stereotip lama, tetapi juga
secara eksplisit membahas isu-isu rasisme yang kompleks.
Tarzan—Pahlawan atau Simbol Fiksi Imperium?
Narasi Tarzan secara
mendalam tertanam dalam gagasan "fiksi imperium," sebuah genre yang,
menurut para peneliti, secara tidak langsung mengungkapkan lebih banyak tentang
kecemasan, ketakutan, dan hasrat para penjajah daripada tentang orang-orang
yang dijajah.2 Tarzan, atau John
Clayton III, yang lahir dari bangsawan Inggris, digambarkan memiliki kecerdasan
dan kemampuan bawaan yang memungkinkannya mengungguli penduduk asli Afrika.
Meskipun ia dibesarkan di alam liar, ia secara paradoks digambarkan "lebih
dekat ke alam" daripada orang Afrika pribumi, menempatkannya dalam posisi superioritas
yang tidak logis.2 Ini bukanlah narasi
tentang pemberdayaan, melainkan perwujudan mitos superioritas Barat, yang
menunjukkan bahwa bahkan ketika dilepaskan dari peradabannya, seorang pria
kulit putih tetap mempertahankan keunggulan inheren yang tidak bisa ditandingi
oleh penduduk asli.
Analisis ini menunjukkan
bahwa Tarzan adalah contoh utama dari tropus "penyelamat kulit putih"
(white savior), di mana karakter utama kulit putih menyelamatkan karakter
non-kulit putih dari kesulitan. Tropus ini, yang umum dalam sinema dan media,
memproyeksikan konsep abstrak seperti moralitas, kepemimpinan, dan kecerdasan
sebagai karakteristik bawaan orang kulit putih, yang seakan-akan tidak
ditemukan pada orang non-kulit putih.1 Tarzan bertindak
sebagai sosok mesianik, atau "messianic figure," yang datang untuk
memimpin dan menyelamatkan, sebuah fantasi narsistik dan pameran yang
digambarkan sebagai bentuk "kompensasi psikologis" bagi orang Barat.1
Laporan akademis lebih
lanjut mengidentifikasi narasi Tarzan sebagai "mitos tandingan"
(counter-myth).2 Mitos ini diciptakan
untuk menutupi kebobrokan dan korupsi peradaban Barat itu sendiri. Dengan
memproyeksikan superioritasnya pada alam yang "ideal" dan "tidak
terkontaminasi" di Afrika, Tarzan menyajikan kritik paradoks terhadap
peradaban Barat yang "busuk dan tidak berdaya" (effete) sementara
pada saat yang sama memperkuat ideologi yang mendukung dominasi rasialnya.2 Singkatnya, cerita-cerita ini tidak pernah benar-benar tentang
Afrika, tetapi tentang cara Barat membenarkan dan mempersepsikan perannya di
dunia. Fenomena ini adalah contoh nyata bagaimana ideologi kolonialisme dan
imperialisme Barat 4 menciptakan kebutuhan
untuk membenarkan dominasi, yang pada gilirannya menghasilkan narasi pop
culture seperti Tarzan yang menyucikan peran Barat menjadi pahlawan yang
dibutuhkan.
Dari Konga ke Kongo—Stereotip Global di Komik Klasik
Untuk memahami pola-pola
ini, teori Orientalisme karya Edward Said memberikan kerangka analisis yang
kuat. Said berpendapat bahwa Barat menciptakan cara pandang terhadap
"Timur" (non-Barat) yang didasarkan pada stereotip.9 Alih-alih melihat Timur secara objektif, Barat
mendefinisikannya sebagai "liyan" (the Other), yang digambarkan
sebagai "irasional, terbelakang, mistis, dan berbeda" sebagai
kebalikan dari Barat yang "rasional, maju, dan beradab".10 Konsep ini dapat diterapkan pada narasi Tarzan dan Tintin.
Afrika yang mereka gambarkan bukanlah tempat yang nyata, tetapi sebuah
konstruksi imajinasi Barat yang stereotipikal. Ini memperkuat gagasan bahwa
cerita-cerita ini tidak pernah tentang realitas Afrika, tetapi tentang fantasi
dan kebutuhan ideologis Barat untuk mempertahankan hegemoni budaya.
Rasisme dalam komik juga
meluas ke stereotip lain, seperti yang terlihat dalam tropus "Ancaman
Kuning" (Yellow Peril). Istilah ini mencerminkan ketakutan xenofobia yang
meluas terhadap orang Asia di Eropa dan Amerika Utara pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20.11 Stereotip ini
menggambarkan orang Asia sebagai ancaman rasial dan budaya yang jahat. Ini
menunjukkan bahwa industri komik Barat secara historis memiliki pola yang
sistematis dalam mereduksi berbagai kelompok non-Barat menjadi karikatur dua
dimensi. Pola ini tidak terbatas pada satu ras, melainkan sebuah pendekatan
umum dalam menciptakan representasi rasis yang berakar pada prasangka. Bahkan
stereotip terhadap orang kulit hitam sering kali berasal dari black-face minstrelsy, pertunjukan
karikatur yang dilakukan oleh orang kulit putih 13, yang menggarisbawahi bahwa representasi rasis di masa lalu
sering kali berasal dari imajinasi dan prasangka orang-orang di posisi
kekuasaan, bukan dari interaksi atau pemahaman otentik dengan budaya lain.
Pergeseran Paradigma—Menuju Komik yang Lebih Beragam
Representasi orang kulit
hitam di komik telah melalui banyak tantangan, di mana mereka sering kali
digambarkan sebagai stereotip "hutan" atau "ghetto," atau
hanya sebagai karakter pendukung (sidekick).13 Namun, lanskap ini
telah mengalami perubahan besar, mencerminkan perjuangan sosial yang lebih
luas. Kini, pahlawan non-kulit putih bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan
pusat dari narasi yang menantang hegemoni rasial.
Salah satu narasi
tandingan yang paling signifikan adalah Black Panther.15 Diciptakan pada tahun 1960-an, karakter T'Challa adalah raja
dari Wakanda, sebuah negara fiktif di Afrika yang maju secara teknologi dan
secara unik tidak pernah dijajah oleh kekuatan asing.15 Keberadaan Wakanda berfungsi sebagai antitesis langsung dari
"hutan primitif" yang diperintah oleh Tarzan. Wakanda menantang
gagasan bahwa Afrika membutuhkan "penyelamat" dari Barat dan
sebaliknya, menyajikan visi yang kuat dan otonom.
Tantangan terhadap
stereotip lama tidak berhenti pada penciptaan karakter. Kontribusi penulis kulit
hitam seperti Christopher Priest dan Ta-Nehisi Coates memperkaya Black Panther,
menjadikannya simbol komunitas Afrika-Amerika yang menghadapi rasisme.14 Pernikahan Black Panther dengan Storm dari X-Men juga merupakan
langkah strategis untuk menargetkan audiens yang lebih luas, terutama perempuan
dan komunitas Afrika-Amerika.14 Keberhasilan sinema
Black Panther pada tahun 2018 16 menunjukkan bahwa
audiens global haus akan cerita yang otentik dan memberdayakan. Film ini
membuktikan bahwa narasi yang menantang stereotip dapat sangat menguntungkan
secara komersial dan memiliki dampak budaya yang signifikan.
Laporan ini menunjukkan
bahwa perkembangan representasi mencerminkan perjuangan sosial yang lebih luas.
Awalnya, karakter non-kulit putih hanya berfungsi untuk menegaskan kembali
dominasi kulit putih. Sekarang, mereka adalah pusat narasi yang menantang
hegemoni tersebut. Tabel di bawah ini secara visual mereplikasi argumen utama
laporan ini, menempatkan ideologi masa lalu dan sekarang secara berdampingan.
Tabel 1: Perbandingan Narasi Rasial: Klasik vs. Modern
|
Era Komik |
Studi Kasus |
Tropus/Ideologi Utama |
Representasi Karakter
Non-Kulit Putih |
Fungsi Narasi |
|
Klasik |
Tarzan, Tintin |
Fiksi Imperium, White
Savior, Orientalisme |
Pasif, bodoh,
stereotip, "liyan" |
Mempertahankan
hierarki rasial dan kolonial |
|
Modern |
Black Panther, The
Falcon |
Narasi Tandingan,
Rasisme Sistemik, Orientalisme |
Pahlawan utama, kaya,
beradab, kompleks |
Menantang hegemoni,
menciptakan kesadaran sosial |
Perkembangan berlanjut
dengan karakter seperti The Falcon, atau Sam Wilson. Serial The Falcon and The Winter Soldier (yang
diadaptasi dari komik Marvel) secara eksplisit membahas isu-isu rasisme
sistemik, rasisme yang diinternalisasi, dan ketahanan komunitas kulit hitam.17 Narasi ini tidak lagi hanya tentang pertempuran fisik, tetapi
tentang perjuangan sosial yang nyata dan kompleks, seperti penolakan pinjaman
bank yang dialami oleh Sam Wilson meskipun ia adalah pahlawan super.17 Keraguan diri Sam untuk mengambil perisai Captain America
karena warna kulitnya adalah cerminan modern dari "konsep
dual-consciousness" W.E.B. Du Bois 18, yaitu perasaan melihat
diri sendiri melalui pandangan masyarakat rasis.
Industri komik juga
telah mencoba berbagai strategi untuk mengatasi masalah representasi. Salah
satu strategi yang paling banyak diperdebatkan adalah racebending—praktik
mengubah ras karakter yang sudah mapan, seperti Johnny Storm atau Spider-Man.19 Meskipun praktik ini bertujuan untuk menciptakan alam semesta
yang lebih multikultural, hal itu menimbulkan kritik dari sebagian audiens yang
melihatnya sebagai "serangan" terhadap hegemoni kulit putih.19 Fenomena ini disebut "zero-sum game" oleh para
kritikus, yang menunjukkan bahwa transisi menuju representasi yang lebih adil
tidaklah mulus dan masih menimbulkan perlawanan dari audiens yang tidak ingin
dominasi kulit putih mereka dipertanyakan.
Sementara itu, gerakan
komik independen dan "komik ras kritis" (critical race comics) secara
eksplisit membahas ras dan rasisme. Mereka berfungsi sebagai "cerita
tandingan" (counter-storytelling) untuk melawan narasi defisit tentang
orang kulit berwarna yang disebarkan oleh media mainstream di masa lalu.18 Gerakan-gerakan ini menunjukkan bahwa perubahan tidak hanya
didorong dari dalam industri (oleh penerbit besar), tetapi juga dari bawah,
oleh para kreator yang menggunakan medium komik sebagai alat untuk keadilan
sosial dan pedagogi antirasis.
Kesimpulan dan Jalan ke Depan
Perjalanan representasi
rasial dalam komik, dari Tarzan hingga Black Panther, adalah cerminan langsung
dari pergeseran ideologis masyarakat Barat. Narasi Tarzan adalah sebuah artefak
dari "fiksi imperium" dan tropus White
Savior yang memproyeksikan superioritas kulit putih sambil mengidealkan
alam yang dikuasai. Komik klasik lain seperti Tintin di Kongo dan stereotip Yellow
Peril menggarisbawahi bahwa pola rasisme dalam media adalah fenomena yang
sistematis, bukan insidental.
Namun, lanskap ini telah
berevolusi secara fundamental. Kemunculan Black Panther, seorang raja dari
negara Afrika yang maju dan tidak pernah dijajah, adalah sebuah narasi
tandingan yang kuat, yang secara langsung menantang mitos "hutan primitif"
dan "penyelamat kulit putih." Karakter modern seperti The Falcon
lebih jauh lagi, dengan secara eksplisit menggali rasisme sistemik dan
kompleksitas identitas rasial.
Penting untuk memahami
bahwa untuk menghargai komik modern, kita harus melihatnya dalam konteks sejarah—mengakui
bias di masa lalu tanpa menghapusnya, tetapi menggunakannya sebagai pelajaran.
Setiap cerita, baik lama maupun baru, memiliki ideologi yang tertanam di
dalamnya. Memahami hal ini adalah langkah pertama untuk menjadi konsumen media
yang lebih kritis dan peka. Meskipun masih ada tantangan yang tersisa, seperti
perlawanan terhadap racebending dan kurangnya representasi untuk kelompok
minoritas lainnya, komik telah membuktikan dirinya sebagai medium yang kuat
tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk pendidikan dan perubahan sosial.
Karya
yang dikutip
1.
White
savior narrative in film - Wikipedia, diakses September 19, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/White_savior_narrative_in_film
2.
(PDF)
Edgar Rice Burroughs's Tarzan – myth and/or critique?, diakses September 19,
2025, https://www.researchgate.net/publication/316673750_Edgar_Rice_Burroughs's_Tarzan_-_myth_andor_critique
3.
OTHERNESS
REPRESENTATION: A POSTCOLONIAL ANALYSIS OF TARZAN OF THE APES - E-Journal USD,
diakses September 19, 2025, https://e-journal.usd.ac.id/index.php/IJHS/article/download/8402/4269
4.
Contoh
Dampak Kolonialisme dan Imperialisme di Bidang Sosial Budaya, Pendidikan dan
Ekonomi - Mamikos, diakses September 19, 2025, https://mamikos.com/info/dampak-kolonialisme-dan-imperialisme-di-pljr/
5.
Dampak
Kolonialisme dan Imperialisme di Bidang Ekonomi-Sosial - Tirto.id, diakses
September 19, 2025, https://tirto.id/dampak-kolonialisme-dan-imperialisme-di-bidang-ekonomi-sosial-glzb
6.
Tintin
90 years on: Belgian comic book stirs racial controversy l Al ..., diakses
September 19, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=TQeBP8Si_XM
7.
Tintin
in the Congo - Wikipedia, diakses September 19, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Tintin_in_the_Congo
8.
Tintin:
Heroic Boy Reporter or Sinister Racist? - Time Magazine, diakses September 19,
2025, https://time.com/archive/6910824/tintin-heroic-boy-reporter-or-sinister-racist/
9.
MEMBACA
KEMBALI ORIENTALISME EDWAR SAID, diakses September 19, 2025, https://badanbahasa.kemendikdasmen.go.id/post/download_doc/73
10. Membayar Harga Seorang Perempuan Liyan
Secara Pantas | by Merah Muda Memudar, diakses September 19, 2025, https://medium.com/merah-muda-memudar/membayar-harga-seorang-perempuan-liyan-secara-pantas-229809913ebd
11. Yellow Peril - Wikipedia, diakses September
19, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Yellow_Peril
12. The Yellow Terror - Two Miles High - Ghost,
diakses September 19, 2025, https://two-miles-high.ghost.io/theyellowterror/
13. From "Under Cork" to Overcoming:
Black Images in the Comics - Scholarly Essays, diakses September 19, 2025, https://jimcrowmuseum.ferris.edu/links/essays/comics.htm
14. Portrayal of black people in comics -
Wikipedia, diakses September 19, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Portrayal_of_black_people_in_comics
15. Black Panther (character) | Research
Starters - EBSCO, diakses September 19, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/literature-and-writing/black-panther-character
16. Who is the Black Panther? | National Museum
of African American ..., diakses September 19, 2025, https://nmaahc.si.edu/explore/stories/who-black-panther
17. Representasi Ras Kulit Hitam dalam
Mini-Series “The Falcon and ..., diakses September 19, 2025, https://scriptura.petra.ac.id/index.php/iko/article/view/24870/20939
18. Critical race comics: Centering black
subjectivities and teaching ..., diakses September 19, 2025, https://www.researchgate.net/publication/355656956_Critical_race_comics_Centering_black_subjectivities_and_teaching_racial_literacy
19. Racebending and Representation in Comic
Books - AAIHS, diakses September 19, 2025, https://www.aaihs.org/racebending-and-representation-in-comic-books/

.webp)

0 comments:
Posting Komentar