Sebuah Paradoks
dalam Budaya Pop
Sejak kemunculan awal mereka di halaman komik, pahlawan super Amerika telah mengukuhkan diri sebagai ikon abadi dalam lanskap budaya pop global. Namun, di balik popularitas dan kekuatan super mereka, terdapat sebuah paradoks yang menarik perhatian banyak pengamat: mengapa makhluk dengan kekuatan dahsyat ini, yang seharusnya lebih mengedepankan kepraktisan, justru memilih untuk mengenakan pakaian yang sangat ketat, mencolok, dan terkadang terlihat tidak masuk akal? Pakaian-pakaian yang terbuat dari bahan elastis, seperti spandeks, dengan warna-warna primer yang berani, telah menjadi seragam tidak resmi bagi banyak tokoh ikonik seperti Superman dan Spider-Man.
Laporan ini berargumen
bahwa kostum pahlawan super bukan sekadar pilihan estetika semata. Sebaliknya,
ia adalah sebuah artefak budaya yang kaya makna, merefleksikan dan sekaligus
membentuk narasi tentang maskulinitas, gender, dan identitas di Amerika Serikat.
Analisis ini akan membongkar lapisan-lapisan historis, teknis, dan sosiologis
di balik estetika unik ini. Laporan ini secara mendalam akan mengaitkan evolusi
kostum dengan fenomena hegemoni maskulinitas, sebuah konsep yang merujuk pada
gagasan tentang laki-laki ideal yang dominan dalam sebuah budaya 1, serta dampaknya pada audiens yang telah lama mengkonsumsi
imajinasi ini.
Bagian 1:
Kanvas Sejarah: Dari Lingkaran Gulat ke Keterbatasan Percetakan
Narasi di balik estetika "konyol" yang kini kita kenal ternyata bukanlah hasil dari niat artistik yang mendalam, melainkan produk dari perpaduan unik antara keadaan budaya dan teknis di awal abad ke-20. Untuk memahami mengapa kostum pahlawan super terlihat seperti yang kita lihat hari ini, penting untuk menelusuri asal-usulnya yang sering kali terabaikan.
Asal-Usul
Estetika "Strongman"
Saat Jerry Siegel dan Joe Shuster menciptakan Superman pada tahun 1938, mereka tidak menciptakan citra dari nol. Desain kostum pahlawan super awal, terutama model Superman, terinspirasi secara langsung dari tradisi "strongman" dan gulat profesional yang populer di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.3 Pertunjukan-pertunjukan hiburan ini menampilkan para pria yang mengenakan pakaian ketat dan berwarna-warni, kadang dengan unsur-unsur kuno seperti sandal-bot Romawi yang memiliki tali hingga ke betis.3 Pilihan kostum ketat ini bertujuan untuk memungkinkan para atlet dan pemain untuk bergerak leluasa dan menampilkan kekuatan fisik mereka secara maksimal di hadapan penonton. Kostum-kostum ini menonjolkan setiap otot dan gerakan, menjadikannya pilihan yang logis untuk karakter seperti Superman yang memiliki kekuatan fisik luar biasa.
Hubungan kausal ini
sangatlah kuat: pilihan kostum yang ketat pada awalnya didasari oleh
pertimbangan fungsional untuk performa dan warisan dari para strongman. Namun,
karena pakaian ini pas di tubuh, ia secara tidak langsung menyoroti fisik kekar
para pahlawan. Fenomena ini kemudian menciptakan hubungan visual yang
mengukuhkan citra bahwa tubuh pahlawan super haruslah berotot dan kekar, yang
pada akhirnya akan menjadi salah satu pilar utama dari fantasi maskulin yang
disajikan dalam komik.
Dikte Teknologi
Cetak "Golden Age"
Alasan di balik warna-warna cerah dan mencolok pada kostum-kostum pahlawan super awal juga memiliki akar historis yang praktis dan tidak romantis. Teknologi cetak komik di era Golden Age sangat primitif dan ekonomis.4 Komik dicetak di atas kertas koran yang murah dengan metode CMYK (Cyan, Magenta, Yellow, Black).4 Keterbatasan teknis ini memiliki dampak signifikan pada desain karakter, terutama dalam hal warna.
Warna-warna primer yang
cerah dan kontras, seperti merah dan biru pada kostum Superman, adalah yang
paling mudah dan murah untuk direproduksi di atas kertas berkualitas rendah
tersebut.3 Desain yang mencolok dan minimalis menjadi sebuah keharusan
agar karakter dapat menonjol di halaman komik yang padat, yang sering kali
menggunakan Ben-Day dots untuk menciptakan ilusi warna dan bayangan.5 Estetika yang kini dianggap ikonis ini pada awalnya merupakan
sebuah "kecelakaan industri" yang didorong oleh pertimbangan
finansial dan teknis, bukan oleh keinginan untuk menciptakan "gaze"
atau pandangan tertentu. Simbolisme yang dalam dan rumit, seperti kostum
Superman yang transparan dan mencolok sebagai cerminan sistem demokrasi Amerika
selama Perang Dingin, baru diterapkan secara retrospektif oleh para akademisi
dan kritikus.6
Spandeks
sebagai Solusi Fungsional
Fungsionalitas juga memainkan peran besar dalam pilihan bahan kostum. Secara logis, bahan yang fleksibel dan pas di tubuh seperti spandeks adalah pilihan yang ideal untuk pahlawan yang memerlukan jangkauan gerak luas dan kelenturan, seperti Spider-Man yang lincah.7 Kostum yang berat dan membatasi gerak, seperti baju zirah, akan menjadi beban bagi pahlawan yang mengandalkan kecepatan dan kelincahan.8 Dengan demikian, spandeks merupakan solusi yang efektif untuk memungkinkan gerakan tanpa hambatan dan mengurangi hambatan aerodinamis.7
Meskipun memiliki alasan
fungsional yang kuat, pilihan ini secara visual juga menonjolkan bentuk tubuh
pahlawan, yang secara tidak langsung memperkuat narasi tentang fisik yang kuat
dan superior. Ini adalah contoh sempurna dari bagaimana "bentuk mengikuti
fungsi" pada akhirnya melahirkan makna budaya yang lebih dalam. Pilihan
desain yang awalnya hanya untuk kepraktisan, pada akhirnya berkontribusi besar
pada estetika hiper-maskulin yang akan menjadi inti dari genre ini.
Bagian 2: Tubuh
sebagai Teks: Anatomi Maskulinitas Hegemonik
Seiring waktu, tubuh pahlawan super, yang disoroti oleh kostum spandeksnya, telah berkembang menjadi perwujudan visual dari hegemoni maskulinitas. Analisis ini beralih dari konteks teknis ke analisis sosiologis, membahas bagaimana tubuh pahlawan super menjadi kanvas untuk memproyeksikan idealisme gender.
Definisi
Hegemoni Maskulinitas
Hegemoni maskulinitas, sebuah konsep yang pertama kali dicetuskan oleh Connell (1987), merujuk pada seperangkat gagasan yang mendefinisikan laki-laki ideal yang dominan dalam sebuah budaya pada waktu tertentu.1 Dalam konteks Barat, idealisme ini sering dikaitkan dengan kekuatan, kekuasaan, dan keperkasaan, yang terwujud dalam kerangka tubuh "mesomorphic" atau berotot.1 Sejak kelahirannya, genre pahlawan super, secara sadar atau tidak, telah menjadi kendaraan utama untuk mempropagandakan idealisme ini.
Kisah-kisah origin
seperti Kapten Amerika, yang bertransformasi dari seorang pria kurus menjadi
figur berotot, atau Bruce Banner yang menjadi Hulk, secara visual merayakan
proses "maskulinisasi" ini, di mana seorang pria biasa berubah
menjadi perwujudan fisik dari keunggulan.1 Melalui metamorfosis
ini, narasi pahlawan super memvalidasi gagasan bahwa kekuatan fisik adalah
prasyarat untuk kepahlawanan dan dominasi.
"V-Shape"
dan "Tubuh Marvel" sebagai Ego Ideal
Di era modern, tubuh pahlawan super menjadi semakin hiper-seksual, berlebihan, dan tidak realistis, sering digambarkan dengan bentuk "V-shape" untuk pria (dengan bahu lebar dan pinggang kecil).9 Pilihan artistik yang berlebihan ini mencerminkan "ego ideal" dari representasi tubuh bergender yang "sempurna" di budaya Barat.9 Ada hubungan sebab-akibat yang kuat di sini. Produksi dan konsumsi komik yang didominasi oleh laki-laki 10 menciptakan lingkaran umpan balik yang menguatkan. Kreator yang sebagian besar laki-laki 10 menggambarkan fantasi maskulin mereka sendiri—misalnya, pencipta Superman, Jerry Siegel, ingin menjadi "benar-benar hebat" agar disukai perempuan 10—dan gambaran ini kemudian menjadi "ego ideal" bagi pembaca laki-laki, yang pada gilirannya menuntut visual serupa, mengabadikan siklus tersebut.12
Tubuh sebagai
Ekspresi Kekuatan dan Kontrol
Otot pada tubuh pahlawan super tidak hanya berfungsi sebagai simbol kekuatan fisik semata. Secara budaya, otot juga diinterpretasikan sebagai indikasi "kemauan ekstrem" dan kontrol pikiran atas tubuh.2 Ini adalah kebalikan dari cara kelebihan lemak digambarkan, yang sering dianggap sebagai kurangnya kontrol atau bahkan "demasculinized".2 Pilihan visual ini memiliki dampak sosial yang nyata. Dengan mempresentasikan otot sebagai sumber keunggulan dan kontrol, komik secara halus memvalidasi gagasan bahwa kekuatan fisik dan dominasi adalah esensi dari maskulinitas. Hal ini berkontribusi pada fenomena yang dikenal sebagai "standar pahlawan super" (superhero standard), yang memberikan tekanan pada laki-laki di dunia nyata untuk memiliki fisik ideal yang sering kali tidak mungkin dicapai.11 Tekanan ini dapat memicu isu citra tubuh, kecemasan, dan masalah kesehatan mental di kalangan pria.13
Tabel 1. Anatomi
Hegemoni Maskulinitas dalam Komik
|
Karakteristik Fisik |
Makna Budaya/Psikologis yang Dikomunikasikan |
|
Tubuh V-shape |
Menandakan dominasi, kekuatan, dan superioritas. |
|
Otot Menonjol |
Mengindikasikan kontrol diri, kemauan ekstrem, dan moralitas
yang teguh. |
|
Pakaian Ketat/Spandeks |
Menyoroti fisik kekar sebagai sumber utama kekuatan dan
kekuasaan. |
|
Abs (Perut Six-Pack) |
Simbol kedisiplinan dan pengorbanan yang diperlukan untuk
menjadi "pahlawan." |
Bagian 3: Gaze
Pria dan Representasi Gender yang Tidak Merata
Analisis tentang "gaze" atau pandangan dalam komik tidak hanya berfokus pada karakter pria, tetapi juga bagaimana dinamika ini membentuk representasi karakter wanita.
Hiper-Seksualisasi
dan Kostum yang Kontradiktif
Sejak awal, industri komik telah menghadapi kritik karena penggambaran karakter pahlawan super perempuan yang sering kali sangat seksi dan hiper-seksual. Mereka sering digambarkan dalam kostum yang tidak praktis, menonjolkan payudara dan pinggul, dan mengenakan pakaian yang tidak sesuai untuk pertempuran.15 Hal yang lebih problematik adalah penggunaan pose-pose yang tidak alami (seperti "brokeback pose"), di mana tubuh diputar untuk menonjolkan bagian dada dan bokong secara bersamaan, sebuah pose yang mustahil dilakukan di dunia nyata.17
Ini adalah manifestasi
paling jelas dari "gaze pria" (male
gaze), yang melihat wanita sebagai objek, bukan sebagai subjek yang
berdaya.18 Pahlawan super wanita sering kali secara naratif digambarkan
sebagai sosok yang kuat dan berani, namun secara visual, tubuh mereka
dikomunikasikan sebagai "seksi" dan "rentan." Hal ini
menciptakan kontradiksi yang mendiskreditkan agensi mereka.15
"Gaze"
di Kedua Sisi
Hiper-maskulinisasi tubuh pria dan hiper-seksualisasi tubuh wanita adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Meskipun ada "gaze homoerotik" yang berfokus pada bentuk tubuh maskulin yang ideal 10, kedua fenomena tersebut adalah produk dari "asumsi hegemoni tentang laki-laki dan perempuan" yang dibuat oleh industri yang didominasi oleh laki-laki.9 Industri ini secara historis telah menciptakan dua cetakan tubuh ideal yang paralel dan berlebihan, yang pada dasarnya melayani fantasi yang berpusat pada laki-laki, baik dengan memproyeksikan diri pada pahlawan yang kuat atau dengan mengobjektifikasi karakter wanita.
Evolusi
Berbasis Kritik dan Pergeseran Kekuasaan
Evolusi dalam representasi gender menunjukkan kekuatan komunitas dan kritik akademis. Dorongan dari pembaca wanita dan masuknya kreator wanita ke dalam industri telah memulai pergeseran dari norma-norma patriarkal historis.15 Perubahan ini terlihat dalam desain kostum yang lebih praktis, seperti yang dikenakan oleh Captain Marvel di film-filmnya.18 Selain itu, karakter seperti The Mighty Thor, yang digambarkan dengan tubuh berotot, menantang stereotip femininitas yang "lembut" dan "slender".22 Ini adalah langkah signifikan yang memberi karakter wanita hak untuk memiliki kekuatan fisik dan narasi yang tidak ditentukan oleh daya tarik seksual mereka.18
Tabel 2. Evolusi
Representasi Gender dalam Kostum Pahlawan Super
|
Karakter |
Era Golden/Silver Age |
Era Modern |
|
Superman |
Celana dalam merah di luar celana biru. Mencerminkan tradisi
strongman. |
Kostum modern sering kali tidak memiliki celana luar dan
menggunakan tekstur, seperti baju zirah. Mencerminkan realisme dan
modernisasi. |
|
Catwoman/Wonder Woman |
Pakaian ketat yang provokatif, menonjolkan bentuk tubuh.
Sering digambarkan sebagai femme fatale atau objek. |
Kostum lebih fungsional, seperti baju zirah atau jaket, yang
mencerminkan agensi dan peran sebagai petarung. |
|
Captain Marvel |
Baju renang ketat dengan hiasan-hiasan yang tidak praktis. |
Pakaian yang lebih praktis seperti baju zirah. Mencerminkan
pergeseran dari objektivikasi ke pemberdayaan. |
Bagian 4:
Evolusi Pahlawan: Melampaui Standar dan Klise
Bagian terakhir ini akan
menunjukkan bagaimana genre komik telah mulai secara aktif menantang dan
mendialogkan hegemoni maskulinitas yang ia populerkan.
Pergeseran
Menuju Realisme dan Nuansa
Dalam beberapa dekade terakhir, desain kostum pahlawan super telah bergeser dari spandeks ketat dan warna-warna cerah menuju material yang lebih realistis, seperti kulit dan baju zirah.6 Pergeseran ini juga disertai dengan perubahan skema warna, dari warna-warna primer yang berani dan transparan di era Perang Dingin (mencerminkan "demokrasi" dan "nasionalisme") menjadi warna yang lebih gelap, suram, dan misterius di era pasca-9/11.6 Evolusi ini merupakan cerminan langsung dari perubahan iklim sosial dan politik di Amerika. Pahlawan super tidak lagi harus menjadi "lambang kebanggaan nasional" yang tak tersentuh. Sebaliknya, mereka mencerminkan masyarakat yang lebih kompleks dan skeptis, di mana pahlawan harus bersembunyi dan beroperasi di luar kerangka hukum yang kaku.6
Narasi Baru
tentang Maskulinitas
Komik modern semakin sering menampilkan maskulinitas yang lebih bernuansa, mengeksplorasi kerentanan emosional dan pentingnya hubungan interpersonal.26 Karakter-karakter yang awalnya tertutup secara emosional, seperti Wolverine, kini digambarkan lebih terbuka dan terhubung dengan orang lain.27 Pahlawan seperti Sam Wilson (Falcon) menantang batas-batas maskulinitas tradisional dengan menunjukkan sisi yang lebih lembut dan sensitif dari seorang pria.28 Meskipun genre ini berakar pada fantasi maskulin yang bermasalah, karya-karya modern menunjukkan bahwa komik dapat menjadi "ruang dialog" 26 yang secara aktif membongkar klise dan menawarkan visi maskulinitas yang lebih sehat dan inklusif. Terdapat harapan bahwa representasi yang lebih kompleks ini dapat memberdayakan audiens pria untuk mengekspresikan emosi dan mencari bantuan tanpa rasa takut, yang menjadi masalah besar dalam budaya maskulin yang toksik.13
Fandom sebagai
Komunitas dan Pengawas
Kekuatan untuk mendefinisikan "pahlawan" tidak lagi hanya berada di tangan para kreator dan penerbit. Audiens, melalui kekuatan mereka dalam komunitas dan media sosial, telah menjadi "penjaga gerbang" yang menuntut representasi yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab. Fandom tidak hanya memberikan rasa identitas dan kepemilikan bagi para penggemarnya 30, tetapi juga menjadi kekuatan pendorong untuk representasi yang lebih otentik dan beragam, menentang stereotip yang sudah usang.32 Banyak penggemar dan kreator independen yang bergerak melampaui kritik terhadap karakter arus utama untuk menciptakan alam semesta dan cerita mereka sendiri yang lebih inklusif.35 Ini adalah pergeseran kekuasaan yang signifikan dalam industri budaya pop, di mana suara komunitas memiliki dampak nyata pada evolusi genre.
Kesimpulan:
Sebuah Cermin Budaya yang Terus Berubah
Secara keseluruhan, kostum pahlawan super, dari spandeks dan warna-warna cerah hingga baju zirah modern, adalah sebuah artefak budaya yang kompleks. Estetika awalnya adalah produk sampingan dari keterbatasan teknis dan tren hiburan di awal abad ke-20. Namun, seiring berjalannya waktu, estetika ini secara sengaja atau tidak sengaja menjadi kendaraan untuk mempromosikan hegemoni maskulinitas dan fantasi berbasis gender yang sebagian besar dibuat oleh dan untuk audiens laki-laki. Hiper-maskulinisasi tubuh pria dan hiper-seksualisasi tubuh wanita adalah dua sisi dari mata uang yang sama, yang mencerminkan asumsi gender yang kaku dan problematik dalam industri komik.
Namun, laporan ini
menegaskan bahwa komik dan pahlawan super bukan hanya hiburan pasif. Mereka
adalah cermin dinamis dari nilai-nilai budaya kita yang terus berubah. Meskipun
genre ini berakar dari asal-usul yang problematis, ia telah menunjukkan kemampuannya
untuk beradaptasi, berevolusi, dan menjadi ruang yang lebih inklusif. Di masa
depan, pahlawan super tidak lagi harus berbentuk cetakan yang kaku, tetapi
dapat menjadi perwujudan yang beragam dari "kebaikan,"
"keadilan," dan "kemanusiaan" yang melampaui standar
maskulinitas dan gender yang usang, menunjukkan bahwa kepahlawanan sejati tidak
pernah terbatas pada otot dan spandeks.
Karya yang dikutip
1.
The
Superhero Film Parody and Hegemonic Masculinity - ResearchGate, diakses
September 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/290474319_The_Superhero_Film_Parody_and_Hegemonic_Masculinity
2.
Full
article: “Why is your body a different shape?” fatness and masculinity in the
superhero film - Taylor & Francis Online, diakses September 16, 2025, https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/21604851.2023.2170551
3.
How
did garish superhero costumes come to be? : r/AskHistorians - Reddit, diakses
September 16, 2025, https://www.reddit.com/r/AskHistorians/comments/1mfu0ty/how_did_garish_superhero_costumes_come_to_be/
4.
Printing
question: Did comic books from the '60s use a different printing process than
say, a magazine from the same time like National Geographic? : r/Design -
Reddit, diakses September 16, 2025, https://www.reddit.com/r/Design/comments/io3g7h/printing_question_did_comic_books_from_the_60s/
5.
The
Story of the Comic Book: History & Printing Practices - Printivity, diakses
September 16, 2025, https://www.printivity.com/insights/the-history-of-comic-book-printing-dot-by-dot
6.
Capes,
Color and Culture: Connecting Superhero Costumes and Shifting Politics |
Writing Program - Boston University, diakses September 16, 2025, https://www.bu.edu/writingprogram/journal/past-issues/issue-10/shumate/
7.
Why
Do Superheroes Wear Spandex? - Inverse, diakses September 16, 2025, https://www.inverse.com/culture/spandex-superheroes-history
8.
Why
Do Superheroes Wear TIGHTS? || Comic Misconceptions || NerdSync - YouTube,
diakses September 16, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=Pgwsmt2utX4
9.
AN
ANALYSIS OF EMBODIMENT AMONG SIX SUPERHEROES IN DC COMICS - KU ScholarWorks,
diakses September 16, 2025, https://kuscholarworks.ku.edu/server/api/core/bitstreams/c736b786-3c01-4980-b285-53bb89fff190/content
10.
An
Analysis of Embodiment among Six Superheroes in DC Comics - SciSpace, diakses
September 16, 2025, https://scispace.com/pdf/an-analysis-of-embodiment-among-six-superheroes-in-dc-comics-483akk169b.pdf
11.
Superheroes
With Realistic Body Types | The Bulimia Project, diakses September 16, 2025, https://bulimia.com/examine/superheroes-with-realistic-body-types/
12.
THE
SUPERHERO GAZE: Looking at Your Heroes in a Whole New Way, diakses September
16, 2025, https://people.southwestern.edu/~bednarb/su_netWorks/projects/psmith/thesuperherogaze.html
13.
With
Superheroes Comes the Pressure of Unrealistic Male Bodies | ECU Counseling
Center, diakses September 16, 2025, https://counselingcenter.ecu.edu/wp-content/pv-uploads/sites/180/2020/05/With-Superheroes-Comes-the-Pressure-of-Unrealistic-Male-Bodies.pdf
14.
Is
the "Superhero Standard" Fueling Men's Body Image Issues? -
Psychology Today, diakses September 16, 2025, https://www.psychologytoday.com/us/blog/social-instincts/202310/is-the-superhero-standard-fueling-mens-body-image-issues
15.
How
The Hypersexualization Of Women And Reinforcement Of Sexist Tropes In The Comic
Book Industry Has S - Eagle Scholar, diakses September 16, 2025, https://scholar.umw.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1650&context=student_research
16.
NAKED
LADIES AND MACHO MEN: A FEMINIST CONTENT ANALYSIS OF A BURGEONING GRAPHIC
NOVELS COLLECTION by, diakses September 16, 2025, https://ils.unc.edu/MSpapers/3094.pdf
17.
Superheroes
Decoded: The Hypersexualization of Women in Comics (Season 1, Episode 1) |
History - YouTube, diakses September 16, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=B2YpB-CAppA
18.
Feminism
in Superhero(ine) Movies - The REVIVAL Zine - WordPress.com, diakses September
16, 2025, https://therevivalzine.wordpress.com/2019/11/06/feminism-in-superheroine-movies/
19.
Video:
Laura Mulvey's Male Gaze Theory | Definition & Examples - Study.com,
diakses September 16, 2025, https://study.com/academy/lesson/video/the-male-gaze-definition-theory.html
20.
www.comicsineducation.com,
diakses September 16, 2025, https://www.comicsineducation.com/language-of-the-gaze.html#:~:text=Voyeuristic%20looking%20can%20serve%20to,probably%20using%20a%20fetishistic%20one.
21.
Portrayal
of women in American comics - Wikipedia, diakses September 16, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Portrayal_of_women_in_American_comics
22.
The
evolution of the female superhero body | this. - Deakin University, diakses
September 16, 2025, https://this.deakin.edu.au/society/the-evolution-of-the-female-superhero-body/
23.
Awesome
Costume Redesigns of Superman, Wonder Woman, Starfire by Aaron Diaz, diakses
September 16, 2025, https://comicsalliance.com/superhero-costumes-redesigns-aaron-diaz/
24.
Justice
League? Depictions of Justice in Children's Superhero Cartoons - UNL Digital
Commons, diakses September 16, 2025, https://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1212&context=sociologyfacpub
25.
comic-books-and-social-justice-teaching-and-learning-guide.docx,
diakses September 16, 2025, https://hss.mnsu.edu/globalassets/college-of-social-and-behavioral-sciences/sociology/social-justice-lecture-series/comic-books-and-social-justice-teaching-and-learning-guide.docx
26.
Relationality
and Masculinity in Superhero Narratives Kevin Lee Chiat Ba - the UWA Profiles
and Research Repository - The University of Western Australia, diakses
September 16, 2025, https://research-repository.uwa.edu.au/files/115439522/THESIS_DOCTOR_OF_PHILOSOPHY_CHIAT_Kevin_Lee_2021.pdf
27.
Toxic
Masculinity and Misrepresentation in Comics | by August Montesano | NYU Local,
diakses September 16, 2025, https://nyulocal.com/toxic-masculinity-and-misrepresentation-in-comics-4904c1d26374
28.
Media
Masculinity - Central Michigan University, diakses September 16, 2025, https://www.cmich.edu/offices-departments/office-research-graduate-studies/graduate-studies/graduate-student-story-archive/media-masculinity
29.
Toxic
Masculinity In Childhood | The Children's Society, diakses September 16, 2025, https://www.childrenssociety.org.uk/what-we-do/blogs/how-toxic-masculinity-affects-young-people
30.
Super
Bowl 2025: How Fandom Boosts Mental Health, According to Psychology Research,
diakses September 16, 2025, https://www.etamu.edu/news/super-bowl-2025-how-fandom-boosts-mental-health-according-to-psychology-research/
31.
An
Exploratory Study Into The World Of Comic Book Fan Social Identity Through
Parasocial Theory - ScholarWorks@UTEP, diakses September 16, 2025, https://scholarworks.utep.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2130&context=open_etd
32.
Diversity
And Representation In Comic Books: Reflecting The Real World - Toons Mag,
diakses September 16, 2025, https://www.toonsmag.com/diversity-and-representation-in-comic-books/
33.
Comics:
The Superheroes of Classroom Diversity | NEARI, diakses September 16, 2025, https://www.neari.org/advocating-change/new-from-neari/comics-superheroes-classroom-diversity
34. Super or Sexist? The Evolution of Female Superheroes in Comics and Film - Digital Commons @ Assumption University, diakses September 16, 2025, https://digitalcommons.assumption.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1079&context=honorstheses
35. Black Masculinity in Comic Books: An Interview with Jonathan Gayles - AAIHS, diakses September 16, 2025, https://www.aaihs.org/black-masculinity-in-comic-books-an-interview-with-jonathan-gayles/

0 comments:
Posting Komentar