Selasa, 16 September 2025

Garis Aksi: Menguak Peran Komik sebagai Media Kritik Sosial dan Perubahan Kolektif

 


Komik Bukan Sekadar Hiburan

Selama beberapa dekade, komik dan novel grafis sering kali diremehkan dan dianggap sebagai bentuk seni inferior—sekadar hiburan murahan untuk anak-anak atau bacaan yang dangkal. Namun, analisis yang lebih mendalam mengungkapkan bahwa komik adalah medium yang jauh lebih canggih dan signifikan secara budaya. Laporan ini berargumen bahwa komik memiliki kapasitas unik untuk menerjemahkan isu-isu sosial dan politik yang kompleks menjadi narasi yang mudah dipahami, beresonansi secara emosional, dan dapat diakses oleh khalayak yang luas.1 Transformasi dari hiburan sederhana menjadi platform jurnalisme dan advokasi sosial ini telah melegitimasi komik sebagai "Seni Kesembilan", sebuah alat yang kuat untuk kritik dan perubahan kolektif.1

Laporan ini akan menguji evolusi medium komik, menganalisis fondasi teoretis yang mendasari kekuatannya, dan mengkaji studi kasus lintas budaya dari Amerika Serikat, Jepang, Eropa, dan Indonesia. Tujuan akhirnya adalah untuk menyintesis temuan-temuan ini menjadi kesimpulan yang kohesif mengenai peran komik dalam membentuk opini publik dan menginspirasi tindakan, sambil memberikan serangkaian rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti untuk komunitas pop culture. 

II. Dari Kartun ke Kritik: Landasan Teoretis Komik sebagai Jurnalisme dan Seni Dissent

1. Evolusi Medium: Dari Humor Satir hingga Narasi Kompleks

Sejarah komik sebagai medium kritik sosial dimulai dari kartun politik satir sederhana di koran-koran awal abad ke-20.4 Pada masa ketika tingkat melek huruf masih terbatas, strip komik berwarna seperti The Yellow Kid oleh Richard F. Outcault berfungsi sebagai daya pikat yang efektif untuk menarik audiens yang lebih luas dan beragam secara budaya.4 Meskipun awalnya dianggap sebagai alat untuk "membantu melek huruf," popularitas komik yang meluas juga memicu ketakutan. Komik dipandang sebagai gangguan yang "menumpulkan kecerdasan" dan berpotensi merusak moral anak muda.4

Puncak ketakutan moral ini terjadi di Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II, didorong oleh gelombang kejahatan remaja dan kritik publik yang gencar.5 Sebuah argumen yang didasarkan pada ilmu "sampah" oleh psikiater Fredric Wertham dalam bukunya yang terkenal, Seduction of the Innocent, mengklaim bahwa komik adalah penyebab langsung kenakalan remaja.6 Ia secara spesifik menuduh komik horor dan pahlawan super, bahkan secara absurd berpendapat bahwa Batman dan Robin memiliki hubungan romantis dan Superman adalah "fasis anti-Amerika".6

Kegaduhan publik yang dipicu oleh Wertham mengarah pada dengar pendapat komite Senat AS pada tahun 1954, yang secara efektif menempatkan industri komik "dalam persidangan".5 Sebagai respons terhadap ancaman regulasi pemerintah, industri secara sukarela membentuk Comics Code Authority (CCA). Kode ini memberlakukan sensor diri yang ketat, melarang konten yang dianggap "terlalu sensitif" atau "provokatif," termasuk penggambaran kejahatan, kekerasan eksplisit, bahasa kotor, atau serangan terhadap kelompok agama atau ras.5

CCA secara tidak sengaja menciptakan dikotomi yang signifikan dalam industri: komik mainstream yang patuh, yang menghindari sikap politik kontroversial, dan gerakan underground comix yang secara politis subversif.7 Daripada membungkam kritik, sensor ini justru mendorong seniman yang lebih radikal, yang tidak peduli dengan basis konsumen yang luas, untuk menciptakan konten yang ditujukan untuk audiens niche. Akibatnya, underground comix berkembang pesat dengan mengeksplorasi isu-isu anti-kemapanan dan politik radikal yang sering kali melibatkan "kekerasan eksplisit, seks grafis, dan politik radikal".7 Sensor, yang dimaksudkan untuk membendung konten yang mengganggu, justru memfasilitasi ledakan kreativitas yang lebih tajam dan provokatif, menunjukkan bahwa sensor yang diterapkan pada seni yang efektif pada akhirnya tidak pernah mampu membungkamnya, melainkan mendorong munculnya bentuk perlawanan yang baru.

2. Kekuatan Semiotika Visual: Mengapa Gambar Berbicara Lebih Keras dari Kata

Kekuatan komik sebagai medium kritik berakar pada semiotika visualnya—studi tentang bagaimana gambar menyampaikan makna. Komik secara unik menggabungkan ilustrasi dan teks untuk menyederhanakan isu-isu yang rumit dan abstrak menjadi representasi yang dapat dipahami dan mudah diakses.2 Kombinasi ini menciptakan "bahasa mental" atau "commix" yang unik, sebuah perpaduan kata dan gambar yang lebih dekat dengan cara kerja pikiran manusia daripada teks atau gambar saja.8 Ini memungkinkan komik untuk menyampaikan kritik yang mendalam tanpa harus bergantung pada teks yang panjang, menjadikannya medium yang ideal untuk audiens yang "terlalu sibuk".9

Komik juga efektif karena kemampuannya untuk membangun empati dan respons emosional melalui "ikonisitas"—kemampuan gambar untuk memanfaatkan rangsangan visual yang kaya dan emosi terkait yang sudah kita kenal dari interaksi sehari-hari.9 Ekspresi wajah, postur tubuh, dan isyarat dalam sebuah panel komik dapat membangkitkan empati mendalam, menghubungkan pembaca dengan pengalaman yang jauh dari kehidupan mereka sendiri.2 Mekanisme ini memungkinkan komik untuk memperkuat suara-suara yang terpinggirkan dan memberikan perspektif pribadi yang berbeda dari narasi mainstream.2 Dengan mempersonalisasi isu-isu sosial, komik mengubah masalah politik menjadi pengalaman manusia yang dapat dirasakan, menjadikan kritik sosial tidak hanya informatif tetapi juga mudah diakses dan beresonansi secara emosional.

III. Cermin Kritik Global: Analisis Studi Kasus Lintas Budaya

1. Amerika Serikat: Melawan Paranoid dan Ketidakidealan Nasional 

Watchmen (1986)


Watchmen
, novel grafis revolusioner karya Alan Moore dan Dave Gibbons, jauh lebih dari sekadar dekonstruksi genre pahlawan super. Karya ini adalah alegori dystopian yang tajam dari iklim ketegangan dan ketidakpastian moral di Amerika pada era Perang Dingin.12 Komik ini menggunakan karakter-karakter utamanya untuk mengkritik identitas Amerika. Karakter Walter Kovacs, yang dikenal sebagai Rorschach, melambangkan "individualisme paranoid" publik Amerika, yang gigih dalam mengejar keadilan secara sepihak meskipun metode vigilante-nya tidak efektif dalam skala yang lebih besar.12 Sebaliknya, Adrian Veidt, atau Ozymandias, mewakili kebijakan luar negeri Amerika yang bertindak sebagai "juru selamat dunia" dengan metode yang dipertanyakan untuk mencapai "kebaikan yang lebih besar," mencerminkan realitas politik global pada masa itu.12 Ketiadaan "pahlawan sejati" dalam Watchmen adalah kritik paling tajamnya, menunjukkan bahwa di dunia yang moralitasnya abu-abu, tidak ada jawaban "benar" yang mudah, dan individu harus bergumul dengan etika dan prinsip mereka sendiri tanpa adanya panduan yang jelas.13

Maus (1980-an)


Maus
, karya Art Spiegelman, tidak hanya melegitimasi novel grafis sebagai medium untuk narasi sejarah tetapi juga menawarkan analisis yang mendalam tentang trauma antar-generasi.8 Komik ini menggambarkan dampak Holocaust tidak hanya pada penyintasnya, Vladek Spiegelman, tetapi juga pada putranya, Art, menunjukkan bahwa trauma dapat diturunkan dan memanifestasikan dirinya dalam perilaku sehari-hari, seperti kebiasaan mengumpulkan barang Vladek.8 Penggunaan metafora hewan (Yahudi sebagai tikus, Nazi sebagai kucing) dalam narasi bukanlah representasi harfiah, tetapi kritik terhadap dehumanisasi para korban.8 Melalui narasi ganda, komik ini menantang narasi "fakta" dari buku sejarah yang sering kali mengabaikan penderitaan pribadi para korban. Narasi ini menggabungkan "memori publik" (fakta-fakta historis) dengan "memori yang dalam" (pengalaman pribadi), mengisi kekosongan sejarah dan memberikan bukti hidup atas kekejaman tersebut.8 Analisis Marxis terhadap Maus juga mengungkapkan lapisan wawasan lain—bagaimana status sosial-ekonomi Vladek sebagai pengusaha dan koneksinya memainkan peran penting dalam kelangsungan hidupnya, yang menantang pandangan bahwa semua korban Holocaust adalah homogen.14

2. Jepang: Dekonstruksi Sejarah dan Nihilisme Pasca-Perang

Barefoot Gen (1973)


Barefoot Gen
karya Keiji Nakazawa berdiri sebagai kesaksian sejarah yang tak tergantikan dan kritik anti-perang yang kuat.15 Diciptakan oleh seorang hibakusha (penyintas bom atom), komik ini adalah testimoni pribadi tentang kengerian Hiroshima dan perjuangan hidup setelahnya.15 Kontroversi muncul di Jepang ketika otoritas pendidikan mencoba membatasi akses siswa ke komik ini dengan alasan "terlalu kejam".16 Perlawanan ini memiliki gema dari kasus Wertham di AS, menegaskan bahwa kritik yang efektif akan selalu menghadapi perlawanan dari pihak berwenang, sering kali dengan alasan yang dangkal. Upaya sensor ini secara tidak langsung mengakui kekuatan komik untuk membentuk kesadaran historis dan menantang narasi resmi, bahkan ketika pemerintah berusaha menolaknya.

Akira (1982-1990)


Akira
karya Katsuhiro Ōtomo adalah karya yang mendalam dan pasca-modern yang membahas nihilisme, kekacauan perkotaan, dan kehampaan pasca-Perang Dunia II.17 Neo-Tokyo, kota distopian futuristik, berfungsi sebagai metafora untuk masyarakat yang dekaden dan terputus dari "grand narasi" seperti kemajuan ilmiah dan idealisme politik setelah trauma historis.17 Komik ini mencerminkan "zaman idealisme" yang gagal pada tahun 1960-an, di mana orang-orang mencoba mengubah masyarakat, yang kemudian digantikan oleh "zaman fiksi" di mana mereka "kehilangan kepercayaan pada cita-cita dan memilih dunia fiksi yang terpisah dari realitas sosial".18 Komentar ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat pasca-modern, yang ditandai dengan hiperrealitas dan konsumerisme, bahkan para pemimpin pemerintah pun terperangkap dalam sistem yang mereka ciptakan dan tidak lagi mampu mengatasi masalah-masalah dasar masyarakat.17 

3. Eropa: Dystopia, Anarki, dan Otoritarianisme

V for Vendetta (1982-1988)


V for Vendetta
adalah kritik tajam terhadap totalitarianisme dan propaganda, yang sangat dipengaruhi oleh iklim politik Inggris di bawah pemerintahan Margaret Thatcher.19 Melalui karakter V yang misterius dan ambigu secara moral, komik ini mengeksplorasi batas-batas antara keadilan dan terorisme.19 V bukan pahlawan konvensional; metode kekerasan dan radikalnya dengan sengaja menempatkannya di area abu-abu moral, memaksa pembaca untuk mempertimbangkan apakah kekerasan adalah satu-satunya solusi ketika menghadapi tirani.20 Moralitas yang ambigu ini merupakan fitur sentral dari komik, yang mengajak pembaca untuk merenungkan pertanyaan filosofis dan etika tanpa memberikan jawaban yang mudah, sebuah perbedaan penting dari narasi pahlawan super tradisional yang dualistik.19 

Persepolis (2003)


Persepolis
karya Marjane Satrapi adalah contoh kuat bagaimana komik dapat memperkuat suara yang terpinggirkan.2 Sebagai memoar grafis, komik ini menawarkan perspektif orang pertama tentang Revolusi Iran dan dampaknya pada hak-hak perempuan dan kehidupan sehari-hari.2 Tema utamanya adalah bahwa pendidikan diri adalah kunci untuk kebebasan pribadi.21 Marjane, sang protagonis, secara konsisten mempertanyakan otoritas di sekolah dan mengandalkan rasa ingin tahunya sendiri melalui membaca dan diskusi dengan orang dewasa yang berpikiran progresif.21 Tindakan ini bertentangan dengan pendidikan institusional yang hipokrit dan indoktrinatif yang ia terima, menunjukkan bahwa kritik dan pemikiran independen dapat tumbuh bahkan di bawah rezim yang represif. Keputusannya untuk meninggalkan Iran pada akhirnya adalah puncak dari apa yang diajarkan orang tuanya: bahwa pendidikan adalah jalan menuju kebebasan.21 

4. Indonesia: Satire Lokal dan Politik dalam Komik Global

Si Juki


Komik strip populer Indonesia, Si Juki, menggunakan humor satir dan "implikatur percakapan" untuk mengkritik kebijakan pemerintah dan isu sosial sehari-hari dengan cara yang ringan dan dapat diterima.
23 Studi akademis menunjukkan bahwa komik ini secara implisit mengekspresikan kekecewaan, menyalahkan, dan mempertanyakan keputusan pemerintah.24 Misalnya, Juki mengkritik kenaikan harga BBM dengan menyarankan penurunan gaji pejabat, sebuah pernyataan yang ironis dan menyimpang dari topik utama protes, namun efektif dalam menyoroti korupsi pemerintah.24

Si Juki adalah contoh yang sangat baik tentang bagaimana komik lokal dapat menyampaikan pesan-pesan yang rumit dengan menggunakan bahasa dan referensi budaya yang sangat spesifik. 


Kontroversi Ardian Syaf


Kasus kontroversi Ardian Syaf pada tahun 2017 adalah studi kasus yang sangat relevan tentang tantangan dan risiko aktivisme dalam industri komik global.
25 Ardian, seorang seniman komik Indonesia, secara diam-diam menyisipkan referensi politik yang terkait dengan gerakan 212 di komik X-Men Gold Marvel, termasuk angka "212" dan "51" (merujuk pada QS 5:51).26 Tindakan ini memicu kemarahan dari komunitas komik global dan lokal, yang melihatnya sebagai penyalahgunaan properti intelektual yang dimiliki oleh orang lain untuk tujuan kampanye politik pribadi.25

Marvel mengambil tindakan disipliner dan menarik edisi tersebut, menyatakan bahwa penyisipan itu tidak mencerminkan nilai-nilai inklusif perusahaan.25 Kasus ini menyoroti ketegangan yang rumit antara kebebasan berekspresi seorang seniman dan realitas kerja kontrak korporasi. Insiden tersebut juga memiliki efek riak, karena seniman lain khawatir hal itu dapat merusak reputasi seniman komik Indonesia di pasar global, terutama di tengah meningkatnya sentimen Islamofobia di Amerika Serikat.26 Insiden ini menunjukkan bahwa meskipun komik adalah alat yang kuat untuk kritik, efektivitas dan penerimaannya sangat bergantung pada konteks, kepemilikan, dan platform, terutama ketika menyentuh isu-isu yang sensitif secara politik dan agama.

Tabel 1: Komik Kritis Pilihan Lintas Negara & Isu Sosial

Komik

Negara Asal

Isu Sosial Utama

Catatan Kritis/Ciri Khas

Watchmen

Amerika Serikat

Idealisme Perang Dingin, Paranoidisme, Individualisme

Mengdekonstruksi narasi pahlawan super, mengeksplorasi moralitas abu-abu, dan mengkritik kebijakan politik.12

Maus

Amerika Serikat

Trauma Antar-Generasi, Holocaust, Dehumanisasi

Melegitimasi medium novel grafis untuk narasi sejarah dan mengeksplorasi memori pribadi vs. memori publik.8

Barefoot Gen

Jepang

Anti-Perang, Bom Atom Hiroshima, Nihilisme

Dibuat oleh penyintas bom atom, berfungsi sebagai kesaksian sejarah pribadi yang kuat dan telah menjadi subjek sensor.15

Akira

Jepang

Nihilisme Pasca-Perang, Dislokasi Epistemik, Konsumerisme

Mengkritik kegagalan "grand narasi" dan mencerminkan masyarakat yang terputus dari idealisme.17

V for Vendetta

Inggris

Totalitarianisme, Anarki, Propaganda

Dipengaruhi oleh iklim politik era Thatcher, mengeksplorasi batas-batas antara keadilan dan terorisme.19

Persepolis

Iran/Prancis

Revolusi Iran, Kebebasan Pribadi, Pendidikan

Memoar grafis yang memperkuat suara yang terpinggirkan, menekankan pendidikan diri sebagai jalan menuju kebebasan.2

Si Juki

Indonesia

Korupsi, Kemacetan, Kritik Pemerintah

Menggunakan humor dan implikatur linguistik untuk menyampaikan kritik sosial secara ringan dan dapat diterima secara lokal.23

 

IV. Dampak dan Tantangan: Bagaimana Seni Membentuk Opini Publik?


1. Dinamika Pengaruh: Dari Emosi ke Partisipasi

Komik, terutama melalui satire politik, adalah medium yang kuat untuk membentuk opini publik dan mendorong partisipasi politik.9 Penelitian menunjukkan bahwa satire politik dapat memicu emosi negatif seperti kemarahan, yang pada gilirannya dapat mendorong partisipasi politik.27 Mekanisme ini didasarkan pada nada yang agresif dan kurang sopan dari satire yang secara efektif mengungkapkan kegagalan atau pelanggaran norma-norma sosial oleh tokoh politik.27

Temuan yang lebih bernuansa menunjukkan bahwa satire yang kontra-atitudinal—yaitu, yang menantang pandangan pembaca yang sudah ada—dapat lebih efektif dalam meningkatkan partisipasi daripada satire yang pro-atitudinal.27 Hal ini terjadi karena konten yang tidak nyaman dapat menciptakan disonansi kognitif, yang memperburuk rasa marah dan memotivasi pembaca untuk bertindak, terutama ketika mereka menganggap isu tersebut penting secara pribadi.27 Dengan demikian, komik yang berani mengambil sikap yang tidak populer dapat menjadi katalisator yang lebih kuat untuk perubahan, bahkan jika pada awalnya terasa tidak nyaman bagi audiens. 

2. Komik dan Seni Perlawanan Lainnya

Membandingkan komik dengan medium seni perlawanan lainnya, seperti musik protes dan seni jalanan, memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang kekuatan dan kelemahannya. Musik protes, dengan lirik dan melodi yang kuat, adalah alat yang sangat efektif untuk mobilisasi dan solidaritas massa, seperti yang terlihat dalam gerakan-gerakan seperti Black Lives Matter atau Arab Spring.29 Sementara itu, seni jalanan seperti graffiti berfungsi sebagai bentuk intervensi visual yang transgresif dan langsung, sering kali anonim, yang secara langsung menantang kontrol perkotaan dan otoritas.31

Komik menempati ruang yang unik di antara keduanya. Ia memiliki kekuatan visual seni jalanan untuk menyampaikan pesan secara ringkas dan mudah diingat, tetapi juga memiliki kedalaman dan narasi yang berkelanjutan yang tidak dapat dicapai oleh graffiti atau bahkan lagu.9 Kemampuan komik untuk membangun argumen yang kompleks dan berkelanjutan menjadikannya medium yang ideal untuk menumbuhkan "refleksi mendalam" pada isu-isu sosial, tidak hanya menawarkan "candaan yang berlalu".3 Sifat naratifnya memungkinkan seniman untuk membangun karakter, alur cerita, dan dunia yang kompleks, mengundang pembaca untuk masuk ke dalam pengalaman yang berbeda dan membangun empati yang berkelanjutan. 

Tabel 2: Mekanisme Pengaruh Komik dalam Kritik Sosial

Mekanisme Pengaruh

Cara Kerja

Contoh Komik

Penyederhanaan Kompleksitas

Menerjemahkan isu abstrak (seperti trauma sejarah atau politik) menjadi narasi yang dapat diakses melalui kombinasi gambar dan teks.

Maus, Persepolis, Si Juki

Alegori & Satire

Menggunakan karakter, alur, atau dunia fiksi sebagai metafora untuk mengkritik realitas politik, sosial, atau kebijakan yang ada.

Watchmen, V for Vendetta, Si Juki

Pemicu Emosi

Menggunakan "ikonisitas" visual untuk membangkitkan empati dan emosi negatif (seperti kemarahan), yang dapat memotivasi partisipasi politik.

Barefoot Gen, V for Vendetta, Akira

Amplifikasi Suara Terpinggirkan

Memberikan platform untuk perspektif yang jarang terdengar, memanusiakan pengalaman yang seringkali terabaikan dalam narasi mainstream.

Maus, Persepolis


V. Kesimpulan: Aksi di Balik Panel

Analisis ini menyimpulkan bahwa komik telah berkembang melampaui medium hiburan, mengukuhkan dirinya sebagai alat yang sah dan efektif untuk kritik sosial. Kekuatannya terletak pada kemampuan uniknya untuk menyederhanakan isu-isu yang rumit menjadi narasi yang menarik secara visual dan beresonansi secara emosional. Pengaruhnya terbukti, tidak hanya dari kesuksesan komersial atau kritik, tetapi juga dari upaya sensor dan kontrol yang dihadapinya secara historis—sebuah pengakuan tersirat oleh pihak berwenang terhadap kekuatan medium untuk membentuk kesadaran publik.

Bagi komunitas pop culture yang ingin memanfaatkan potensi ini, laporan ini mengidentifikasi beberapa langkah dan motivasi:

1.     Mendukung Pencerita Independen dan Kritis. Pembaca harus secara sadar mencari dan mendukung kreator komik lokal dan independen yang berani mengeksplorasi isu-isu rumit. Dukungan finansial dan moral ini sangat penting untuk memungkinkan mereka mempertahankan integritas artistik mereka dari tekanan komersial atau sensor.1

2.     Mengadvokasi Konten Berbasis Kritik. Media sosial harus digunakan bukan hanya sebagai platform hiburan tetapi sebagai ruang untuk diskusi dan penyebaran konten komik yang kritis. Dengan membagikan dan mendiskusikan komik yang mengangkat isu-isu penting, komunitas dapat memanfaatkan kekuatan visual dan naratifnya untuk mengamplifikasi pesan dan memobilisasi tindakan.2 Mempromosikan komik yang
kontra-atitudinal dapat menjadi cara yang sangat efektif untuk memicu refleksi mendalam dan mendorong partisipasi.

3.     Menjadi Bagian dari Narasi. Akhirnya, individu harus termotivasi untuk mengambil peran aktif, mengadaptasi dan menciptakan cerita mereka sendiri sebagai bentuk perlawanan, terinspirasi oleh contoh-contoh yang dibahas. Media sosial dan platform penerbitan mandiri telah mendemokratisasi proses kreatif, menurunkan hambatan untuk masuk dan memungkinkan siapa pun dengan pena dan kertas untuk memulai proyek kritik sosial mereka sendiri. Ini adalah ajakan untuk tidak hanya mengonsumsi kritik, tetapi juga untuk menjadi pencipta kritik itu sendiri.

Karya yang dikutip

1.     The Graphic Novel – a Representation Medium of the Contemporary Society, diakses September 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/308180774_The_Graphic_Novel_-_a_Representation_Medium_of_the_Contemporary_Society

2.     The role of comics journalism in modern media - Shorthand, diakses September 16, 2025, https://shorthand.com/the-craft/comics-journalism/index.html

3.     Comics and Cartoons: A Democratic Art-Form - ResearchGate, diakses September 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/231807175_Comics_and_Cartoons_A_Democratic_Art-Form

4.     Literacy and the Graphic Novel | Research Starters - EBSCO, diakses September 16, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/literature-and-writing/literacy-and-graphic-novel

5.     Comic Book Censorship 1948-1955 | The First Amendment ..., diakses September 16, 2025, https://firstamendment.mtsu.edu/article/comic-book-censorship-1948-1955/

6.     History of Comics Censorship, Part 1 - Comic Book Legal Defense Fund, diakses September 16, 2025, https://cbldf.org/resources/history-of-comics-censorship/history-of-comics-censorship-part-1/

7.     Mainstream “Comix”: Examining Political Limitations in Comics at the Intersection of Underground and Mainstream - ImageTexT, diakses September 16, 2025, https://imagetextjournal.com/lerner-comix/

8.     Unresolved Trauma in Art Spiegelman's “Maus” - RJPN, diakses September 16, 2025, https://rjpn.org/ijnti/papers/IJNTI2312012.pdf

9.     Effectiveness of Cartoons as a Uniquely Visual Medium for Orienting ..., diakses September 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/254118003_Effectiveness_of_Cartoons_as_a_Uniquely_Visual_Medium_for_Orienting_Social_Issues

10.  Graphic Novels Column: Medium Matters: Comics and Social Justice - Forum Newsletter - Massachusetts School Library Association, diakses September 16, 2025, https://www.maschoolibraries.org/newsletter/graphic-novels-column-medium-matters-comics-and-social-justice

11.  The Role of Art in Social Movements - Nonsuch Foundation, diakses September 16, 2025, https://nonsuchfoundation.com/art-in-social-movements/

12.  Guardians of an Illusion: Watchmen and the ... - Dialogues@RU, diakses September 16, 2025, https://dialogues.rutgers.edu/files/72/Volume-9/153/Guardians-of-an-Illusion--Watchmen-and-the-Misguided-Idealism-of-Cold-War-America.pdf

13.  The Greater Good: Analyzing Morality in Watchmen | Writing Program - Boston University, diakses September 16, 2025, https://www.bu.edu/writingprogram/journal/past-issues/issue-8/wu/

14.  Rich in Bread Crumbs: A Marxist Analysis of Maus, diakses September 16, 2025, https://hilo.hawaii.edu/campuscenter/hohonu/volumes/documents/RichinBreadCrumbsAMarxistAnalysisofMaus.pdf

15.  Barefoot Gen | Research Starters - EBSCO, diakses September 16, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/literature-and-writing/barefoot-gen

16.  The Dispute over Barefoot Gen (Hadashi no Gen) and Its Implications in Japan, diakses September 16, 2025, https://www.ijssh.net/index.php?m=content&c=index&a=show&catid=63&id=916

17.  Thoughts on Akira (1988) & Consciousness : r/TrueFilm - Reddit, diakses September 16, 2025, https://www.reddit.com/r/TrueFilm/comments/p6qwlk/thoughts_on_akira_1988_consciousness/

18.  Postmodern Elements in Katsuhiro Ōtomo's Akira (1988), diakses September 16, 2025, https://mgesjournals.com/hssr/article/download/hssr.2022.1017/3732/16868

19.  V for Vendetta Comic Review and Analysis | Hypercritic, diakses September 16, 2025, https://hypercritic.org/collection/v-for-vendetta-comic-review-analysis

20.  Alan Moore's "V for Vendetta" Analysis - HobbyLark, diakses September 16, 2025, https://hobbylark.com/V-for-Vendetta-Book-Report

21.  Education in Persepolis: Themes & Quotes - Lesson | Study.com, diakses September 16, 2025, https://study.com/academy/lesson/education-in-persepolis-themes-quotes.html

22.  Education in Persepolis: Themes & Quotes - Video - Study.com, diakses September 16, 2025, https://study.com/academy/lesson/video/education-in-persepolis-themes-quotes.html

23.  Implikatur percakapan dalam Si Juki Komik Strip = Conversational implicatures in Si Juki Komik Strip / Nina Syufrida - Perpustakaan Universitas Indonesia, diakses September 16, 2025, https://lontar.ui.ac.id/detail?id=20413656&lokasi=lokal

24.  IMPLIKATUR KONVERSASIONAL DALAM KOMIK ... - ResearchGate, diakses September 16, 2025, https://www.researchgate.net/profile/Riqko-Windayanto/publication/357147544_IMPLIKATUR_KONVERSASIONAL_DALAM_KOMIK_SI_JUKI_KARYA_FAZA_MEONK_ANALISIS_PRAGMATIK_GRICEAN/links/61bd423a63bbd932429f0817/IMPLIKATUR-KONVERSASIONAL-DALAM-KOMIK-SI-JUKI-KARYA-FAZA-MEONK-ANALISIS-PRAGMATIK-GRICEAN.pdf

25.  Marvel disiplinkan komikus Indonesia yang sisipkan Aksi 212 dalam X Men - ANTARA News, diakses September 16, 2025, https://www.antaranews.com/berita/623506/marvel-disiplinkan-komikus-indonesia-yang-sisipkan-aksi-212-dalam-x-men

26.  Tindakan Ardian Syaf Sisipkan Pesan 212 di X-Men Memicu ... - VICE, diakses September 16, 2025, https://www.vice.com/id/article/tindakan-adrian-syaf-sisipkan-pesan-212-di-x-men-memicu-kemarahan-komunitas-komik-indonesia/

27.  Cartoons as a Satirical Depiction of Present Day Political Society: Review - INOSR, diakses September 16, 2025, http://www.inosr.net/wp-content/uploads/2019/12/INOSR-P1-HSS-21-1-5-2016..pdf

28.  How Does Political Satire Influence Political Participation ..., diakses September 16, 2025, https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/download/6158/2098

29.  www.jsr.org, diakses September 16, 2025, https://www.jsr.org/hs/index.php/path/article/view/8176#:~:text=In%20conclusion%2C%20protest%20music%2C%20driven,across%20different%20socio%2Dpolitical%20movements.

30.  The Role of Protest Music in Social Movements and Youth Activism ..., diakses September 16, 2025, https://www.jsr.org/hs/index.php/path/article/view/8176

31.  (PDF) Defining Visual Street Art: In Contrast to Political Stencils, diakses September 16, 2025, https://www.researchgate.net/publication/273402863_Defining_Visual_Street_Art_In_Contrast_to_Political_Stencils

32.  A History of Protest Art Through Examples - From Ai Weiwei to Banksy - Artsper Magazine, diakses September 16, 2025, https://blog.artsper.com/en/a-closer-look/art-movements-en/protest-art/

33.  Public opinion - Mass Media, Social Media, Influence | Britannica, diakses September 16, 2025, https://www.britannica.com/topic/public-opinion/Mass-media-and-social-media



0 comments:

Posting Komentar